[caption id="attachment_11163" align="aligncenter" width="720"] Peletakan batu pertama di lokasi Masjid Tua Tosora[/caption]
INILAHCELEBES.ID, Wajo - Wajo Procurement Watch (WPW) melalui Direkturnya, Andi Chairil Syam mempertanyakan langkah Bupati Wajo bersama sebuah kelompok masyarakat yang melakukan revitalisasi Masjid Tua Tosora.
Saat ini, kata dia, rencana revitalisasi Masjid Tua Tosora telah memasuki tahap peletakan batu pertama di situs inti Masjid Tua Tosora pada 13 Oktober 2019 lalu.
"Tentunya kegiatan ini menimbulkan sejumlah pertanyaan. Seberapa urgent Masjid Tua Tosora tersebut untuk direvitalisasi mengingat pembenahan lingkungan dan penambahan fasilitasnya baru dilaksanakan tahun 2014 lalu?" kata pria yang akrab disapa Andi Hery ini, Minggu (20/10/19).
Dia juga mempertanyakan, apakah kegiatan tersebut telah mendapat rekomendasi dari instansi terkait dan telah sesuai dengan yang diamanatkan oleh UU Nomor 11 Tahun 2010.
"Siapakah pemilik sesungguhnya Masjid Tua tersebut dan pengelolaannya nanti dilakukan oleh siapa? Kemudian, sumber pendanaan pada proyek revitalisasi tersebut dari mana?" lanjutnya.
Pertanyaan di atas, lanjut Andi Hery, tentu memerlukan jawaban yang bijak, transparan serta akademis oleh pihak pihak terkait. Karena sifat cagar budaya adalah terbatas dan tidak dapat tergantikan.
"Bisa dibayangkan jika dalam proses pembangunannya tidak sesuai dengan UU Cagar Budaya atau tiba-tiba terhenti karena kehabisan anggaran," kata Andi Hery.
Dia memaparkan, Masjid Tua Tosora yang berada dalam wilayah administratif Desa Tosora, Kecamatan Majauleng, Kabupaten Wajo merupakan situs purbakala dengan status bangunan cagar budaya yang dilindungi negara. Oleh karenanya, penanganan serta perlakuannya diatur dalam UU, yaitu UU nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Lebih lanjut, Masjid Tua Tosora dibangun pada tahun 1621 pada masa pemerintahan Arung Matoa Wajo XV La Pakallongi To Alinrungi.
Seiring kekalahan Gowa oleh Belanda dalam perang Makassar menjadikan kerajaan Wajo juga terkena imbas. Tosora sebagai ibukota Kerajaan Wajo luluh lantak akibat serbuan militer koalisi Bone Belanda.
Akibat dari serangan tersebut, menjadikan Kota Tosora nyaris rata dengan tanah. Sampai saat ini masih dapat dilihat dampak dari serangan tersebut, yaitu sisa bangunan masjid, mushollah, dan geddong (gudang).
Dari ketiga sisa bangunan tersebut, hanya sisa bangunan mesjid yang terawat dengan baik. Tahun 2014, Dinas Tata Ruang Provinsi Sulsel bekerjasama dengan Dinas Tata Ruang Pemda Wajo berinisiatif melakukan pembenahan lingkungan dan penambahan fasilitas berupa selasar dan ruang informasi. Dua bangunan lainnya, yaitu mushollah dan geddong kondisinya sangat memprihatinkan sampai saat ini.
"UU Nomor 5 Tahun 1992 disebutkan, penanganan benda cagar budaya ataupun benda atau bangunan yang diduga cagar budaya adalah kewenangan Pemerintah Pusat melalui Balai Pelestarian Cagar Budaya," paparnya.
Perubahan UU Nomor 5 Tahun 1992 menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam rangka ikut melaksanakan pelestarian dan pengelolaan cagar budaya.
"Peran serta masyarakat juga diatur dalam UU tersebut. Namun tetap berkoordinasi dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya serta didampingi oleh tenaga ahli," pungkas Andi Hery. (Rls)
INILAHCELEBES.ID, Wajo - Wajo Procurement Watch (WPW) melalui Direkturnya, Andi Chairil Syam mempertanyakan langkah Bupati Wajo bersama sebuah kelompok masyarakat yang melakukan revitalisasi Masjid Tua Tosora.
Saat ini, kata dia, rencana revitalisasi Masjid Tua Tosora telah memasuki tahap peletakan batu pertama di situs inti Masjid Tua Tosora pada 13 Oktober 2019 lalu.
"Tentunya kegiatan ini menimbulkan sejumlah pertanyaan. Seberapa urgent Masjid Tua Tosora tersebut untuk direvitalisasi mengingat pembenahan lingkungan dan penambahan fasilitasnya baru dilaksanakan tahun 2014 lalu?" kata pria yang akrab disapa Andi Hery ini, Minggu (20/10/19).
Dia juga mempertanyakan, apakah kegiatan tersebut telah mendapat rekomendasi dari instansi terkait dan telah sesuai dengan yang diamanatkan oleh UU Nomor 11 Tahun 2010.
"Siapakah pemilik sesungguhnya Masjid Tua tersebut dan pengelolaannya nanti dilakukan oleh siapa? Kemudian, sumber pendanaan pada proyek revitalisasi tersebut dari mana?" lanjutnya.
Pertanyaan di atas, lanjut Andi Hery, tentu memerlukan jawaban yang bijak, transparan serta akademis oleh pihak pihak terkait. Karena sifat cagar budaya adalah terbatas dan tidak dapat tergantikan.
"Bisa dibayangkan jika dalam proses pembangunannya tidak sesuai dengan UU Cagar Budaya atau tiba-tiba terhenti karena kehabisan anggaran," kata Andi Hery.
Dia memaparkan, Masjid Tua Tosora yang berada dalam wilayah administratif Desa Tosora, Kecamatan Majauleng, Kabupaten Wajo merupakan situs purbakala dengan status bangunan cagar budaya yang dilindungi negara. Oleh karenanya, penanganan serta perlakuannya diatur dalam UU, yaitu UU nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Lebih lanjut, Masjid Tua Tosora dibangun pada tahun 1621 pada masa pemerintahan Arung Matoa Wajo XV La Pakallongi To Alinrungi.
Seiring kekalahan Gowa oleh Belanda dalam perang Makassar menjadikan kerajaan Wajo juga terkena imbas. Tosora sebagai ibukota Kerajaan Wajo luluh lantak akibat serbuan militer koalisi Bone Belanda.
Akibat dari serangan tersebut, menjadikan Kota Tosora nyaris rata dengan tanah. Sampai saat ini masih dapat dilihat dampak dari serangan tersebut, yaitu sisa bangunan masjid, mushollah, dan geddong (gudang).
Dari ketiga sisa bangunan tersebut, hanya sisa bangunan mesjid yang terawat dengan baik. Tahun 2014, Dinas Tata Ruang Provinsi Sulsel bekerjasama dengan Dinas Tata Ruang Pemda Wajo berinisiatif melakukan pembenahan lingkungan dan penambahan fasilitas berupa selasar dan ruang informasi. Dua bangunan lainnya, yaitu mushollah dan geddong kondisinya sangat memprihatinkan sampai saat ini.
"UU Nomor 5 Tahun 1992 disebutkan, penanganan benda cagar budaya ataupun benda atau bangunan yang diduga cagar budaya adalah kewenangan Pemerintah Pusat melalui Balai Pelestarian Cagar Budaya," paparnya.
Perubahan UU Nomor 5 Tahun 1992 menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam rangka ikut melaksanakan pelestarian dan pengelolaan cagar budaya.
"Peran serta masyarakat juga diatur dalam UU tersebut. Namun tetap berkoordinasi dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya serta didampingi oleh tenaga ahli," pungkas Andi Hery. (Rls)